MUSIK UNDERGROUND TERNYATA TIDAK SELALU ’NEGATIF’



Matahari di langit Kota Cimahi bersinar begitu terik. Suara growl dan dentuman musik meraung-raung dari sound system berkekuatan 12.000 volt. Demon’s Damn mulai ‘menggeber’ lagu kedua mereka. Gebukan snare drum yang rapat dan distorsi yang menggila membuat ratusan metalhead semakin kegirangan. Di muka panggung, mereka berlarian, berguling-guling, jumpalitan bahkan ada yang nekad meloncat dari panggung ke arah kerumunan. Momen kali ini sayang untuk tidak diabadikan. Kamera digitalku yang cuma dilengkapi 3x optical zoom memaksaku untuk mengambil gambar lebih dekat. Aku terus melangkah, menembus kerumunan hingga ku rasakan sesak karena tubuhku semakin terhimpit. Barulah aku tersadar bahwa aku terjebak di antara ratusan metalhead yang menggila. Arrrrgghh.. tidaaaakk.. keluarkan aku dari sini!!.

Tujuh jam sebelumnya.


Breafing
terakhir panitia baru saja usai. Aku ditugasi untuk mengamankan backstage. Kenyataannya di lapangan, aku tidak hanya bertugas mengamankan backstage tapi merangkap juga sebagai penjaga tiket, petugas patroli, seksi dokumentasi hingga asisten artis. Halah.. halah.. eksisnya aku ini. :P .

Mengadakan pagelaran musik amal underground bukanlah perkara gampang. Kendala yang paling besar adalah perijinan. Seperti halnya hari ini, pagelaran musik yang seharusnya berlangsung di Lapangan Kubang-Kerkof malah terselenggara di Lapangan Pusdikjas ; Pusat Pendidikan Jasmani dan Militer. Pihak panitia terpaksa memindahkan tempatnya secara mendadak seminggu yang lalu karena ijin yang tidak kunjung diterima. Padahal acara ini adalah sebuah pagelaran musik amal. Charity. Mengapa begitu sulit untuk mendapatkan selembar surat ijin saja?.


Ku amati sekali lagi list pengisi acara hari ini; Dining Out, Jeruji, Power Punk, Rosemary, Art to Murder, Demon’s Damn, United Neighbourhood dan sembilan band peserta lainnya. Perlengkapan ’manggung’ sudah mulai diangkut ke backstage. Beberapa personil band nampak sudah menempati bangku-bangku yang disediakan. Diantara mereka, ada yang duduk santai sambil merokok, ada yang mengecek kesiapan alat-alat, ada juga yang pemanasan sembari melemaskan sendi. Tapi yang paling penting, prosesi berdoa tidak lupa dilakukan. Semuanya berharap seluruh rangkaian acara ini bisa terlaksana dengan baik sampai akhir.


Sebulan yang lalu, perasaan was-was sempat hinggap ketika seorang teman mengajakku untuk terlibat di kepanitiaan acara musik underground. Selain karena aku yang begitu jazzy
, pagelaran musik seperti ini seringkali menyisakan bencana. Aku teringat ’tragedi Braga’ setahun silam. Konser tunggal band metal Beside yang digelar di Asia-Africa Conferention Center (AACC) berakhir ricuh dan menelan sepuluh korban jiwa. Membayangkannya saja sudah membuatku ngeri. Tapi atas dasar loyalitas terhadap teman dan dibarengi rasa penasaran, akhirnya ku sanggupi tawaran itu.

Satu per satu, metalhead mulai berdatangan. Mereka datang dengan ciri-ciri yang sangat khas. Baju lusuh yang bahkan sobek disana-sini, celana jeans yang sudah sangat beladus, rambut mohawk berpotongan ala feathercut yang diwarnai dengan warna terang, rantai dan spike (aksesori berjeruji) dan satu lagi yang tak terlupa; ukulele. Setelah melalui pos tiket dan dipastikan mereka tidak membawa benda tajam, minuman keras atau drugs, mereka diijinkan masuk. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala setelah melihat penampilan mereka yang terkesan ’aneh’ itu.Pementasan dimulai. Tiga band peserta pertama membawakan musik dengan ’garing’ karena sepi penonton. Terlihat hanya beberapa kepala yang celingukan di muka panggung. Hal ini sungguh sangat berbeda dengan penampilan puncak Jeruji Band yang diwarnai kegilaan ratusan metalhead. Para metalhead lebih memilih menyimpan energi mereka untuk diluapkan pada acara puncak; saat Jeruji menggetarkan tanah dengan performa mereka.


Energi yang meletup-letup begitu terasa sedari sore ketika beberapa artis pengisi acara mulai menguasai panggung. Beberapa personil band sempat melempar puluhan CD, sticker dan air mineral gelas ke arah penonton. Para metalhead semakin bersemangat ketika dilempar dengan air mineral walaupun air yang disiramkan ke muka mereka tidak semewah air yang disemprotkan dari blambir pemadam kebakaran.


Acara usai tepat jam tujuh malam. Kami bersyukur karena tidak ada yang pingsan apalagi luka berat yang membutuhkan penanganan medis. Pengorbanan panitia yang membuat konsep acara begitu matang tidak sia-sia.


Ternyata pagelaran musik underground tidak seseram yang ku bayangkan. Mereka bermain musik dengan santun bahkan yang terkesan lucu, beberapa band menutup pementasan dengan berucap ‘Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh’. Sopan sekali bukan?. Ratusan metalhead pun mengikuti acara dengan damai, tanpa acara pukul-pukulan, drugs, minuman keras bahkan tanpa ritual bakar ban atau sengaja melekatkan logo band pada bendera merah-putih seperti yang sering terjadi pada konser musik lain.


Pepatah lama mengatakan, don’t judge a book by its cover.
Kali ini, aku sepakat dengan itu. Stigma negatif pasti timbul setelah melihat penampilan luar para metalhead. Tapi di balik kemasan sangar dan terkesan jorok itu, terdapat sosok-sosok yang begitu loyal pada musik underground; sebuah genre musik yang mereka yakini sebagai media eksistensi. Dan di balik dentuman musik keras yang menghentak telinga, ternyata terselip lirik-lirik yang menggugah sisi kemanusiaan tapi tidak semua orang mau memaknainya lebih dari sekedar lirik.

Sebuah Pagelaran Musik amal telah rampung dilaksanakan. Semoga dengan banyaknya kegiatan sosial seperti ini, bukan hanya hiburan semata yang kita dapat. Namun juga fasilitas bagi anak-anak negeri untuk terus berkarya sembari melakoni aktivitas sosial ; membantu mereka yang mengalami kesulitan dalam segi financial untuk bisa terus hidup dan bersekolah.


Jika berbicara masalah sosial, kita berjuang atas nama kemanusiaan, terlepas apa pun aliran musik yang kita usung. Ternyata aku yang penikmat musik jazz ini bisa juga belajar memaknai nilai-nilai positif dari musik underground. Jadi, marilah kita berangkulan. Niscaya, dalam mengamalkan nilai-nilai sosial, tidak akan ada yang mampu berjalan sendiri. Bangsa ini butuh agen-agen sosial lain yang mau menginvestasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk perbaikan taraf kualitas hidup. Setelah ini, siapa lagi yang akan menggelar pagelaran musik amal?.


Cimahi, 24 Mei 2009.

Daisy ’Grenita’ Andriyani




A Little Awareness

Sebagai seorang anak yang menempuh pendidikan di kota lain, berkumpul bersama seluruh anggota keluarga merupakan satu hal yang mewah. Selama ini, aku hanya menyempatkan sekali waktu dalam sebulan untuk mengunjungi kota tempat tinggalku. Seringkali kesempatan itu ku gunakan untuk urusan pekerjaan, bukan untuk berlibur bersama keluarga di rumah. Jatah berlibur di rumah pastinya tidak pernah lama, hanya satu atau dua hari. Jika tidak dihabiskan dengan berenang bersama ade, maka aku akan berada di rumah seharian. Apabila sudah nonton tv sembari merebahkan tubuh di sofa ’butut’, aku akan malas kemana-mana bahkan untuk sekedar mengunjungi tetangga dan teman-teman lama.

Suatu sore di tiga minggu lalu. Setelah selesai ku puaskan tidur di sepanjang siang, kami berkumpul di teras rumah terkecuali papa yang sibuk mengutak-atik mobil di garasi. Aku ditugaskan untuk mencabuti uban mama sementara ade sedang berusaha menyelesaikan kerajinan kruissteek. Tiba-tiba, ade berkata padaku, ”Teh, beliin ade celana ya!. Itung-itung kado ulang taun, kan teteh blom ngasih kado ke ade.” Ia tersenyum lalu melanjutkan membuat kerajinan.

Ada haru yang terbit di dada. Aku hampir tidak pernah absen memberi kado ketika sahabat-sahabatku berulang-tahun tapi aku hampir melupakan sesuatu yang penting; kado untuk ade kecilku. Baru saja ku berencana untuk menghadiahi ii sepasang sepatu meskipun bukan di momen ulang-tahun. Belum lama juga, ku hadiahkan sebuah buku Cinta Bukan Cokelat kepada seorang sahabatku. Ku ingat-ingat lagi kapan terakhir kali aku menghadiahi adikku sebuah kado. Aku tak berhasil mengingatnya; aku lupa.

Di keluargaku memang tidak diajarkan untuk saling memberi kado ketika hari ulang-tahun tiba. Biasanya ketika salah satu anggota keluarga berulang-tahun, kami mensyukurinya dengan makan bersama di Warung Soto langganan kami dan untuk itu, aku pasti menyempatkan hadir tanpa dipaksa. Selanjutnya, kami akan lalui malam pergantian usia tanpa kue tart dan lilin merah tapi dengan doa dan kecup sayang dari anggota keluarga lainnya. Tapi di balik semua itu, ku tahu ade pasti mengharapkan sebuah kado yang bisa ia simpan sebagai penanda hari jadi. Ku lalui hari itu dengan tak habis berpikir; mengapa satu hal penting bisa luput dari ingatanku.

Esoknya, sebuah kejutan menungguku di luar. Hanya beberapa meter setelah melangkahkan kaki dari pintu rumah, ku lihat mama sedang menggendong seorang bayi. Bayi itu menangis hebat dan dan tak kunjung diam walau mama sudah menimangnya. Ku hampiri mama dengan rasa heran yang sungguhan. Aku bertanya, ”Orok saha?.” Mama dengan ringan menjawab, ”Ieu mah orokna Kiki, baru diimunisasi.” Ternyata bayi perempuan itu adalah anak kakak sepupuku yang baru saja diimunisasi DPT. Bayi itu berumur hampir tiga bulan tapi aku baru melihatnya untuk pertama kali. Aku mengingat-ingat kemana saja aku selama tiga bulan ini sampai aku tidak sempat menjenguk anggota keluarga baru dalam keluarga besarku ini.

Ingatanku sampai di sebuah malam saat aku pulang larut setelah bekerja. Ku rasakan lelah dan kantuk mendera tubuh yang basah diguyur hujan. Ketika baru beranjak merebahkan diri di tempat tidur, sebuah pesan ku terima; pemberitahuan bahwa kakak sepupuku telah melahirkan seorang bayi. Karena terlalu lelah, tak ku indahkan pesan itu dan berlalu dalam lelap. Esoknya aku kembali disibukkan dengan padat kegiatan hingga akhirnya terlupa untuk sekedar menyampaikan ucapan selamat hingga hari ini.

Bayi itu begitu cantik dan menatapku tajam. Tiba-tiba aku didaulat untuk menggendongnya. Kurasakan kedua tangan ini begitu kaku ketika bayi itu mulai dipindahkan ke dalam dekapanku. Aku baru menepuk-nepuk pelan tubuhnya ketika tangisannya mulai bertambah keras. Akhirnya ku kembalikan bayi itu ke dalam gendongan mama. Mungkin dia tidak nyaman dalam dekapanku yang kaku. Wajarlah, selama ini aku tidak punya pengalaman bersentuhan dengan bayi.

Kini bayi itu sudah melewati usia tiga bulan dan masih sering diasuh oleh mama. Di rumah, bayi itu sering dijadikan mainan hidup sekaligus objek foto oleh ade, duh.. kurang kerjaan. Ade sendiri baru selesai berkutat dengan soal-soal ujian akhir nasional. Satu bulan lalu, ia mengikuti test masuk Sekolah Bertandar Internasional (SBI) dan hasilnya sangat memuaskan. Clever girl, my sister. Sebagai kompensasi dari kerja kerasnya, aku harus mengirimkan kado tambahan yang ade minta. Tak apalah. Untuk ade, akan ku kuras habis tabunganku bulan lalu.

Selama beberapa minggu ke belakang, setiap kali aku merenungkan semua ini, maka tanganku selalu refleks meraih ponsel. Speed dial no 1: Rumah. Aku tak mau menunggu lagi hanya untuk berucap ’Apa Kabar?’. Sebuah kesadaran kecil menyentuh nuraniku. Selama ini, obsesi pribadi begitu menenggelamkanku dalam padat aktivitas sehingga membuatku jauh dari keluargaku. Ku sadari ada yang lebih penting dari menjadi dewasa dan berpenghasilan sendiri yaitu tetap menjadi bagian dari keluarga; sebuah tempat dimana aku kembali, sebuah alasan eksistensiku hidup di dunia ini.

Di halaman belakang rumah,
03 Mei 2009.