11 Sekawan Dalam Petualangan Gila (Part I)

Catatan 07 - 09 Februari 2009


07 Februari 2009
Gerimis semakin membesar seiring bertambah ting
ginya mentari. Anggota tim belum berkumpul seluruhnya, terkesan masih terlalu pagi namun sudah terlambat beberapa menit dari jadwal yang disepakati. Tak apalah, mungkin mereka terjebak macet yang disebabkan oleh hujan. Ku periksa semua perlengkapan sekali lagi. Tidak satu pun terlewatkan; helmet, kaca-mata, jaket, jas hujan, sepatu dan ransel. Liburanku kali ini pasti akan terasa berbeda.

Tepat pukul sembilan pagi, awak tim terakhir tiba di lokasi keberangkatan.
Pendataan dimulai. Enam buah sepeda motor, 11 petualang. Semuanya melebur dalam antusiasme yang luar biasa. Siap menjelajah medan. Semua perlengkapan dipasangkan pada tubuh. Di garis start, ritual berdo’a tidak lupa dilaksanakan.


Kegilaan sudah mulai terasa dikala kami berkendara di dal
am hujan yang sesekali dihantui petir. Mengarungi terjal jalanan dengan kendaraan yang memang tidak diperuntukkan untuk itu. Belum genap satu jam pertama berkendara, salah satu sepeda motor mengalami pecah ban. Untuk 20 menit, perjalanan kami terhambat. Sementara itu, hujan semakin deras mendera. Maka diberlakukan sesi mengganti sepatu dengan sandal guna menjaga sepatu kami tetap kering.

Sebagai anak-anak yang tumbuh besar di himpitan gedung-gedung tinggi kota besar, melihat pantai dan laut secara langsung layaknya mimpi. Sebuah harapan dan pencapaian. Hal itu juga yang menjadi alasan kami rela menempuh jarak kurang lebih 155 kilometer menuju pantai indah di selatan Garut. Sebuah pantai bernama Santolo.

Menjelang waktu shalat Jum’at, sepeda motor lainn
ya mengalami pecah ban. Seorang awak berkelakar bahwa inilah waktu yang pas untuk pecah ban. Mungkin memang ada benarnya karena dengan begitu kami bisa sejenak menghempaskan lelah sembari menikmati makan siang. Sementara sebagian awak yang lain melaksanakan shalat jum’at dan mengganti ban sepeda motor. Istirahat siang itu terhitung terlalu lama bagi tim yang sedang berkendara. Dengan maksud memburu waktu, lekas kami melanjutkan perjalanan meski hujan belum reda sepenuhnya.

Cuaca akhirnya mulai bisa bersahabat.
Mentari terlihat menyembulkan diri meski sesekali tertutup awan. Lengang jalanan dan indahnya cuaca membuat kami lup
a akan jalanan yang masih basah dan memacu kendaran lebih cepat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana. Kami berkendara dalam komposisi terbaik. Merambati tiap jengkal jalanan dengan kecepatan tinggi yang konstan. Mendahului satu persatu kendaraan dengan mulus. Hingga di sebuah jalan lurus yang panjang, perjalanan ini menorehkan mimpi buruk. Hanya beberapa belas meter setelah melewati tikungan yang cukup tajam. Tepat di depanku, terlihat seorang awak tim terpelanting dari sepeda motornya setelah sebelumnya membunyikan klakson panjang. Spontan ku melambatkan kecepatan hingga akhirnya berhenti. Jantungku berdegup sangat cepat setelah melihat semuanya dari dekat. Oh.. God. Bukan hanya seorang awak yang terpelanting namun juga ada seorang anak kecil yang hampir tertindih oleh motor yang terbalik.

Massa mulai mengerubungi TKP. Suara rintihan anak kecil yang meraung-raung membuat kami semakin kalut dan gemetar. Hampir tidak ada diskusi. Massa memaksa pihak kami bertanggungjawab. Awalnya kami berkeberatan karena kecelakaan ini bukan sepenuhnya kesalahan teman kami yang mengendarai sepeda motor tapi kami takut kasus ini dibawa ke pihak berwenang. Maka tanpa banyak basa-basi, kami mendampingi korban untuk diperiksa ke puskesmas terdekat. Syukurlah, t
idak ada luka dalam yang berarti. Hanya memar dan syok yang mendera anak kecil itu. Setelah menyelesaikan administrasi pengobatan, kami langsung melanjutkan perjalanan.

Setelah itu, kami masing-masing berkendara dalam diam. Syok rupanya juga mendera kami tapi tidak untuk waktu yang lama. Senyum sudah mulai bisa mengembang
lagi ketika kami memasuki Gunung Gelap. Terjal jalanan berbatu membuat kami harus saling mendukung satu sama lain. Angin yang kencang berhembus beberapa kali merusak kestabilan sepeda motor. Kecepatan sudah jauh melambat. Tinggal ketangkasan mengendarai sepeda motor yang bisa diandalkan.

Belum usai perjalanan menempuh Gunung Gelap yang penuh ranjau lubang, giliran ban sepeda motorku pecah. Anjir. Hari mulai menjelang sore dan di tengah hutan pula. Beruntungnya signal ponsel belum benar-benar hilang hingga aku yang memang terting
gal di belakang bisa menelpon temanku agar kembali dan membantu memperbaiki sepeda motorku. Setengah jam yang berharga terbuang untuk mengganti ban sepeda motor. Tak habis ku rutuk kecerobohanku yang terlalu memaksakan sepeda motor.

Setelah itu, kami lanjutkan berkendara diiringi gerimis yang mulai datang lagi. Saat itu, entah mengapa bisa ku rasakan segalanya melebur harmonis. Seperti tembang ritmik yang terjalin apik di udara. Dengung halus suara Thunder. Kaos kaki basah. Punggung yang sudah kapalan. Iring-iringan indah motor yang menyusuri urat gunung. Senyum yang sesekali dibarengi tawa. Bun
yi klakson yang bersahut-sahutan. Semuanya amat istimewa. Ku syukuri nikmat merasakan kedamaian serupa ini.

Masih tersisa 35 kilometer lagi sebelum tiba di pantai. Semangat kami sudah menggebu-gebu. Lupa akan dinginnya cuaca. Berharap untuk secepatnya tiba dan menikmati sunset dari tepi pantai. Medan Gunung Gelap sudah bisa dilalui. Gerimis yang tadi menghantui seakan tidak jadi menjelma hujan dan berganti menjadi terik mentari. Kami mulai menyusuri perkampungan padat penduduk. Hutan belantara berganti menjadi alam pedesaan yang mulai bernuansa kota. Mini market berjejer rapi di kiri dan kanan jalan. Panorama menjadi tidak asyik lagi.

Terik mentari membuat sore itu menjadi terang tanpa sisa hujan. Pandangan aneh para pejalan kaki tertuju pada kami yang masih mengenakan jas hujan lengkap two pieces. Akhirnya kami sempatkan melepas jas hujan sebelum terlalu menjadi ’Alien masuk kota’.

Menit demi menit berlalu, hingga kemudian roda-roda sepeda motor berpijak pada tanah berpasir menandai tujuan kami sudah dekat. Tak lama, pemandangan indah itu terhampar di pelupuk mata.
Di balik tetumbuhan mangrove yang menjulang, ombak saling bertautan di pantai dengan indahnya. Hari sudah menjelang senja. Prosesi sunset akan dimulai sebentar lagi. Cepat-cepat kami m
emesan kamar di penginapan terdekat. Semua sepeda motor sudah terparkir apik dan ransel sudah tidak melekat di punggung lagi. Dengan setengah berlari, kami memburu sunset. Menapaki tiap inchi batu karang. Melebur dan membasahi tubuh dalam ombak. Mengabadikan setiap momen terbaik dalam jepretan foto atau selembar video. Arakan awan hitam menggelayut hingga sunset berlalu tanpa kami sadari. Biarlah, hal itu tak sedikit pun mengurangi kegembiraan ini. Jemu dan lelah seperti seluruhnya terbasuh disini ; dalam suatu temaram senja di Pantai Santolo.

Daisy Grenita


(to be continued)


Santolo Beach, West Java, Indonesia


The sea’s only gift are harsh blows and, occasionally, the chance to feel strong. Now, I don’t know much about the sea but I do know that, that’s the way it is here. And I also know how important it is in life, not necessarily to be strong but to feel strong, to measure yourself at least once, to find yourself at least once in the most ancient of human condition. Facing the blind, deaf stone alone with nothing to help you but your hands and your own head.

(Alexander Supertramp)

Sebuah Cerita Berjudul Reinara Selina

Pagi yang biasa. Duduk di depan komputer. Tanpa mandi. Tanpa sarapan. Tanpa seorang teman pun. Hanya alunan lagu Take A Bow dari Rihanna yang memenuhi gendang telinga. Segalanya bergulir seperti biasa.

Setelah hampir dua jam mencoba menyelesaikan tugas kuliah, kejenuhan menyergap. Iseng-iseng, ku buka beberapa folder yang berisi tulisan – tulisanku terdahulu. Tiba – tiba mataku tertumpu pada satu file yang bernama Reinara Selina. Ingatanku terpaut pada satu hari di enam bulan lalu. Dikala tanpa aba – aba, ia menghampiriku. Sebuah inspirasi yang tak pernah ku tahu bagaimana bisa sampai ke benakku. Sebuah nama yang membanjiri imaji tanpa pernah ku kenal sebelumnya.

Reinara Selina. Nama itu terus terekam di pikiranku sampai berhari – hari berikutnya. Membuatku merasa gundah karena tidak pernah berusaha mengindahkannya. Sampai di suatu malam, emosi dari inspirasi itu datang lagi. Memaksaku meniadakan jam tidur untuk duduk di depan komputer dan menulis. Setelah melewati beberapa malam panjang yang menguras energi, inspirasi itu merasakan sensasi hidup. Tertuang dalam sebuah cerita pendek yang ku beri judul Reinara Selina ; sebuah nama yang bagiku adalah ruh dari inspirasi itu.

Kini, perlahan – lahan ku baca lagi beberapa bait pertama dari cerita pendek itu.

”Adakah harimu indah?. Tenggelam dalam padat dan bising yang khas aroma kota. Mungkin telah habis dunia kita yang penuh canda. Saat dimana aku dan engkau pernah bahagia. Masihkah kau ingat tentang kita yang terbakar mentari Kuta dan dibungkus hasrat yang menyala – nyala?. Kita berlarian mengejar arakan awan di pantai berbalut hangat lembayung Bali. Terbaring di pasir senja. Angin laut dan ombak pasang terasa begitu ramah menyapa. Kau tertawa, aku pun tertawa. Kita muda dan bahagia. Saat itu ku temukan riang di wajahmu yang bersisian indah dengan mentari di penghabisan siang.

Hingga badai porak – porandakan sisa hari. Hujan menghitamkan malam. Temaramnya wangi bunga dan pepohonan tak lagi bisa kita rasakan. Dingin merasuk di tubuhmu yang diapit dua belah tangan. Perapian mati. Kita berbagi cahaya redup dari sebuah lilin putih. Bersama memunguti jejak malam ditemani suara Burung Hantu dan belasan batang rokok yang tak lama berubah jadi abu. Hangat nafasmu terasa dan diammu tak henti berkata, berceloteh. Kita kenang manis keberhasilan dan kegagalan hidup untuk nanti disimpan lebih erat dalam benak. Sampai di penghabisan gelap, ku lihat air menguap dari jelaga matamu. Keadaan memaksa raga kita untuk saling menjauh. Tangismu hadir diiringi gerimis yang jatuh. Adakah kau lihat jua tangis di mataku?. Embun menghiasi dinding fajar. Pagi merenggutmu dariku.

Baru sekarang ku tahu, rindu bisa begitu membuat helaan nafas terasa sakit. Rindu akan perasaan lembut yang menggerayangi teras hati. Kehadirannya memaknai riang dan luka yang terjalani. Tetap ku rangkum harummu bersama pijar yang tak kunjung lekang. Menantimu berdamai dengan ego. Tapi kini hadirmu seakan sirna bagai petir yang mati di terik mentari Bulan Juli.

Aku mengenangmu dalam buih di air dan tapak kaki yang kita jejakkan di Pantai Kuta. Akan selalu ku ingat wangi rambutmu yang basah, ombak yang terhempas di tepian, rakit yang melaju, kaki kita yang terbenam di pasir dan suatu tempat di Denpasar dimana kita tak sengaja bertemu.”

***


Melalui cerita ini, ku rasakan sensasi mengenal seorang Reinara Selina. Sosok yang datang melalui pertemuan aneh yang masih menyisakan tanda tanya di hati. Seseorang yang hadir beserta keindahan alam Bali ; kota seribu candi yang bahkan tak pernah ku sambangi. Ajaibnya, dalam proses menulis cerita ini bisa dengan utuh ku rasakan hangat mentari Kuta atau indahnya rembulan di langit Denpasar.

Reinara Selina. Ia akan selalu ada menyesaki udara yang ku hirup. Hadir ditemani sejurus kenangan indah yang tertinggal. Tanpa perlu ku melihat, ia menari bersama ombak di pelupuk mataku. Tanpa perlu ku mendengar, ia bicara dalam kelembutan bahasa yang dimengerti hati. Mungkin tak kan pernah ku lihat ia dalam pesona ragawi tapi berkenalan serta berbagi pengalaman dengannya adalah kesempatan megah yang membuatku merasa cukup.

Daisy

Kamis Yang Tak Biasa

Ketika yang tertinggal hanya senyap, ku melayang hilang, melebur dalam panas mentari hasrat dan dingin udara. Dunia yang biasa dihinggapi kakunya rias teori dan pena seakan tertinggal jauh di belakang. Dalam diam ku berucap ; Inikah passion yang dapat mengisi kekosongan hati?. Inikah rumah yang ku cari?.

Di satu titik ketinggian, ku sadari kemahaan-Nya.
Ciwidey, 29 Januari 2009.