11 Sekawan Dalam Petualangan Gila (Part II)

Catatan 07 - 09 Februari 2009

(Lanjutan)

08 Februari 2009
Hujan begitu lebat. Entah berapa gelontor lagi yang akan tiba. Waktu menunujukkan pukul 05.15. Prosesi sunrise akan dimulai beberapa menit lagi. Tapi tampaknya cuaca buruk menghalangi kami untuk melihat sunrise. Mimpi kami tetap menjadi mimpi. No sunset, no sunrise. Kecewa sedikit membelenggu kini.

Cuaca membaik ketika pagi tiba. Kami kembali menyambangi pantai untuk bermain ombak. Air yang surut membuat batuan karang menyembul ke permukaan. Secara hati-hati, kami menjejaki batuan karang itu. Berusaha menemukan sudut-sudut indah untuk berfoto. Entah karena terlalu bersemangat atau memang kurang hati-hati, seorang teman terpeleset di salah satu batu karang. Arrrghhh.. sontak semuanya berteriak dan membantu ia untuk berdiri. Syukurlah ia hanya mengalami lecet pada lengan kirinya. Setelah itu, kami tidak henti menasehatinya untuk lebih berhati-hati. Cukup lama kami bermain ombak di tengah bebatuan karang. Air yang kemudian meninggi memaksa kami kembali ke tepi pantai.

Semuanya seperti terbungkam dalam sketsa; indah untuk dinikmati tapi tak hendak melibatanku serta. Riang yang ada tetap tak mampu meredakan resah ini. Dalam kilatan pesona Laut Jawa, rasa rindu itu menyapaku lagi dan menuangkan kesepian dalam diri. Dia yang berlabuh dalam mimpi selalu menyisakan rindu pada hatiku. Ratusan kilometer ternyata tak mampu membuat spasi. Keceriaan ini terasa menyakitkan karena tak bisa ku bagi bersamanya.

Ingin ku jemput dia saat ini juga untuk berbagi sinar matahari dan ombak yang sama denganku. Mengarungi lautan dengan perahu-perahu cadik. Membuat menara pasir yang menjulang tinggi. Ataupun sekedar menyusuri pantai dalam rekatan jemari. Oh.. God. Rindu ini mulai menggila.

Hari sudah semakin tinggi, kami tak boleh terlena disini. Setelah menghabiskan menu makan siang; cumi dan ikan bakar, kami selesaikan administrasi penginapan dan melanjutkan berkendara. Ada keindahan yang ku rasakan ketika hendak berbalik pergi dan meninggalkan Pantai Santolo. Ku biarkan semua kesan tertinggal, larut bersama ombak di tepi samudera untuk seterusnya ku rekam erat dalam benak. Lazuardi begitu indah dan laut tetap menyisakan banyak misteri.

Tujuan berikutnya adalah tempat pemandian air panas di jantung Kota Garut. Mungkin karena daerah wisata ini menyediakan fasilitas air panas alami sehingga dinamakan Cipanas yang berarti air yang panas. Perjalanan yang kami tempuh untuk sampai disana tergolong mudah dan sama sekali tanpa hambatan. Jauh berbeda dengan perjalanan kami menuju Pantai Santolo kemarin. Kali ini, seakan alam memberikan restu. Gunung Gelap yang sukar ditempuh pun mendadak jadi mudah kami lalui.

Cuaca begitu sempurna. Panas yang tak begitu terik dan tak menyisakan awan mendung. Hanya tak ku nikmati berkendara serupa ini. Macet, kendaraan parkir seenaknya di bahu jalan, tata kota yang sembrawut. Hah.. pemandangan yang terlalu biasa ku jumpai. Akhirnya kami sampai di penginapan yang dituju. Hotel bintang dua yang sebenarnya tidak terlalu pas dengan harapan kami. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot mengenai harga, kami jadi menyewa satu cottage di bagian paling atas kawasan hotel tersebut.

Jujur lebih ku nikmati jam-jam yang kami habiskan di Pantai Santolo daripada disini. Nuansa perkotaan kental menyelimuti penginapan. Penjaja nasi goreng dan mie instant bertebaran di sana-sini. Ketenanganku seringkali terusik oleh banyaknya orang yang berlalu-lalang di area penginapan. Sebagian teman berusaha mengurangi rasa suntuk dengan berjalan-jalan sementara aku dan beberapa teman yang tersisa disini menghabiskan menit demi menitnya di depan televisi.

Hari menjelang malam, sebagian teman belum jua kembali ke penginapan. Dingin mulai merasuk dan secara kebetulan, kolam pemandian sudah terisi penuh air panas. Tanpa pikir panjang, dua orang temanku menceburkan diri ke dalam kolam. Belum juga seluruh tubuh terbenam ke dalam air, mereka sudah berteriak dan buru-buru keluar menjauh dari kolam. Ternyata air di kolam itu bukan hanya panas secara kiasan tapi memang benar-benar panas. Air itu memang sengaja dibiarkan alami mengalir ke dalam kolam tanpa mengalami proses pendinginan terlebih dahulu. Aku yang semula terperanjat mendengar teriakan kedua temanku menjadi tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi muka mereka.

Tiba giliranku mencoba berendam di kolam itu. Satu per satu ku ceburkan bagian tubuh. Panas yang kemudian berubah hangat melapisi tiap inchi kulit. Begitu nyaman rasanya. Ingin ku berlama-lama berendam tapi beberapa kotak martabak hangat yang disajikan oleh teman-teman membuatku merasa lapar dan akhirnya keluar dari kolam. Teman-temanku memutuskan untuk berenang di kolam yang lebih besar. Awalnya ingin juga ku ikut berenang bersama tapi lelah lebih kuat mendera tubuh. Aku lagi-lagi memutuskan untuk tak ikut serta. Tempat tidur yang empuk menjadi puncak petualanganku hari ini


09 Februari 2009
Jam menunjukkan pukul enam. Suara alarm ponsel berbunyi bergantian, menyemarakkan pagi itu. Masih terlalu dini untuk bangun. Setelah lebih rapat ku selimuti tubuh, tiba-tiba teman-temanku menyingkap gorden dan menarik selimut dari tubuhku, memaksaku bangun. Dengan segera aku bangun sebelum teman-teman memeragakan gaya Smack Down ke tubuhku.

Ritual minum kopi dan rokok pagi sedang kami lakoni, tanpa mandi tapi sudah cuci muka dan gosok gigi tentunya. Tapi hari minggu pagi tak lengkap rasanya apabila dilalui tanpa olah-raga. Jadi meskipun beberapa temanku memutuskan untuk tidur lagi, aku memilih untuk berenang. Tenaga yang sudah pulih dan terkumpul penuh serasa pas untuk mengasah otot-otot yang kaku setelah lama berkendara. Tak kurang dari satu jam ku tempuh lintasan renang itu. Seandainya kolam renang itu tak dipenuhi padat pengunjung, mungkin ku masih betah berenang sampai beberapa jam ke depan.

Waktu bergulir tanpa terasa. Tepat pukul 10.30, kami tinggalkan penginapan itu dan bersiap-siap pulang menuju Bandung. Sebelum keluar dari Kota Garut, kami sempatkan mengisi perut kami yang mulai keroncongan. Tumbuh di Kota Kuliner membuat standar cita rasa kami akan makanan begitu tinggi. Meskipun sepanjang perjalanan terhampar banyak Rumah Makan tapi kami tetap kekeuh ingin makan di Rumah Makan Ampera. Sekarang tinggal aku yang kerepotan mencari alamat Rumah Makan itu. Setelah hampir setengah jam berkeliling, hasrat makan di Rumah Makan Ampera akhirnya terpenuhi.

Selanjutnya, kembali kami harus menyusuri padat jalanan kota. Menempuh puluhan kilometer berkendara. Sesekali, kegilaan masih dilakukan, seperti menyalip iring-iringan truk besar ataupun menggoda para pejalan kaki. Kurang kerjaan memang. Cuaca begitu bersahabat menaungi kami sampai tiba di Bandung. Segelas Es Kelapa Muda menyambut kepulangan kami di Kota Tercinta ini. Segarnya terasa hingga berjam-jam kemudian.

Kami menempuh lebih dari 300 kilometer perjalanan, melalui 55 jam bersama. Tidak ada oleh-oleh yang kami bawa selain rasa lega dan kepuasan yang luar biasa. Sebelum padat aktivitas mengharuskan kami menempuh jalan berbeda. Sebelum waktu membawai kami menorehkan masing-masing karya. Maka kami akan sanggup bercerita tentang pengalaman luar biasa yang tak mungkin terganti. Sebuah petualangan gila yang mengharuskan sebuah persahabatan diuji dan kemurnian cinta digali.

Daisy Grenita.
TAMAT

Rata Penuh
Pesan ini akhirnya tiba. Saat pasir tempatmu berpijak pergi ditelan ombak, akulah lautan yang memeluk pantaimu erat. Akulah langit beragam warna yang mengasihimu lewat beragam cara. Engkau hanya perlu merasa dan biarkan alam berbicara.
(Dee - Aku Ada / Recto Verso hal. 36)