MUSIK UNDERGROUND TERNYATA TIDAK SELALU ’NEGATIF’



Matahari di langit Kota Cimahi bersinar begitu terik. Suara growl dan dentuman musik meraung-raung dari sound system berkekuatan 12.000 volt. Demon’s Damn mulai ‘menggeber’ lagu kedua mereka. Gebukan snare drum yang rapat dan distorsi yang menggila membuat ratusan metalhead semakin kegirangan. Di muka panggung, mereka berlarian, berguling-guling, jumpalitan bahkan ada yang nekad meloncat dari panggung ke arah kerumunan. Momen kali ini sayang untuk tidak diabadikan. Kamera digitalku yang cuma dilengkapi 3x optical zoom memaksaku untuk mengambil gambar lebih dekat. Aku terus melangkah, menembus kerumunan hingga ku rasakan sesak karena tubuhku semakin terhimpit. Barulah aku tersadar bahwa aku terjebak di antara ratusan metalhead yang menggila. Arrrrgghh.. tidaaaakk.. keluarkan aku dari sini!!.

Tujuh jam sebelumnya.


Breafing
terakhir panitia baru saja usai. Aku ditugasi untuk mengamankan backstage. Kenyataannya di lapangan, aku tidak hanya bertugas mengamankan backstage tapi merangkap juga sebagai penjaga tiket, petugas patroli, seksi dokumentasi hingga asisten artis. Halah.. halah.. eksisnya aku ini. :P .

Mengadakan pagelaran musik amal underground bukanlah perkara gampang. Kendala yang paling besar adalah perijinan. Seperti halnya hari ini, pagelaran musik yang seharusnya berlangsung di Lapangan Kubang-Kerkof malah terselenggara di Lapangan Pusdikjas ; Pusat Pendidikan Jasmani dan Militer. Pihak panitia terpaksa memindahkan tempatnya secara mendadak seminggu yang lalu karena ijin yang tidak kunjung diterima. Padahal acara ini adalah sebuah pagelaran musik amal. Charity. Mengapa begitu sulit untuk mendapatkan selembar surat ijin saja?.


Ku amati sekali lagi list pengisi acara hari ini; Dining Out, Jeruji, Power Punk, Rosemary, Art to Murder, Demon’s Damn, United Neighbourhood dan sembilan band peserta lainnya. Perlengkapan ’manggung’ sudah mulai diangkut ke backstage. Beberapa personil band nampak sudah menempati bangku-bangku yang disediakan. Diantara mereka, ada yang duduk santai sambil merokok, ada yang mengecek kesiapan alat-alat, ada juga yang pemanasan sembari melemaskan sendi. Tapi yang paling penting, prosesi berdoa tidak lupa dilakukan. Semuanya berharap seluruh rangkaian acara ini bisa terlaksana dengan baik sampai akhir.


Sebulan yang lalu, perasaan was-was sempat hinggap ketika seorang teman mengajakku untuk terlibat di kepanitiaan acara musik underground. Selain karena aku yang begitu jazzy
, pagelaran musik seperti ini seringkali menyisakan bencana. Aku teringat ’tragedi Braga’ setahun silam. Konser tunggal band metal Beside yang digelar di Asia-Africa Conferention Center (AACC) berakhir ricuh dan menelan sepuluh korban jiwa. Membayangkannya saja sudah membuatku ngeri. Tapi atas dasar loyalitas terhadap teman dan dibarengi rasa penasaran, akhirnya ku sanggupi tawaran itu.

Satu per satu, metalhead mulai berdatangan. Mereka datang dengan ciri-ciri yang sangat khas. Baju lusuh yang bahkan sobek disana-sini, celana jeans yang sudah sangat beladus, rambut mohawk berpotongan ala feathercut yang diwarnai dengan warna terang, rantai dan spike (aksesori berjeruji) dan satu lagi yang tak terlupa; ukulele. Setelah melalui pos tiket dan dipastikan mereka tidak membawa benda tajam, minuman keras atau drugs, mereka diijinkan masuk. Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala setelah melihat penampilan mereka yang terkesan ’aneh’ itu.Pementasan dimulai. Tiga band peserta pertama membawakan musik dengan ’garing’ karena sepi penonton. Terlihat hanya beberapa kepala yang celingukan di muka panggung. Hal ini sungguh sangat berbeda dengan penampilan puncak Jeruji Band yang diwarnai kegilaan ratusan metalhead. Para metalhead lebih memilih menyimpan energi mereka untuk diluapkan pada acara puncak; saat Jeruji menggetarkan tanah dengan performa mereka.


Energi yang meletup-letup begitu terasa sedari sore ketika beberapa artis pengisi acara mulai menguasai panggung. Beberapa personil band sempat melempar puluhan CD, sticker dan air mineral gelas ke arah penonton. Para metalhead semakin bersemangat ketika dilempar dengan air mineral walaupun air yang disiramkan ke muka mereka tidak semewah air yang disemprotkan dari blambir pemadam kebakaran.


Acara usai tepat jam tujuh malam. Kami bersyukur karena tidak ada yang pingsan apalagi luka berat yang membutuhkan penanganan medis. Pengorbanan panitia yang membuat konsep acara begitu matang tidak sia-sia.


Ternyata pagelaran musik underground tidak seseram yang ku bayangkan. Mereka bermain musik dengan santun bahkan yang terkesan lucu, beberapa band menutup pementasan dengan berucap ‘Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh’. Sopan sekali bukan?. Ratusan metalhead pun mengikuti acara dengan damai, tanpa acara pukul-pukulan, drugs, minuman keras bahkan tanpa ritual bakar ban atau sengaja melekatkan logo band pada bendera merah-putih seperti yang sering terjadi pada konser musik lain.


Pepatah lama mengatakan, don’t judge a book by its cover.
Kali ini, aku sepakat dengan itu. Stigma negatif pasti timbul setelah melihat penampilan luar para metalhead. Tapi di balik kemasan sangar dan terkesan jorok itu, terdapat sosok-sosok yang begitu loyal pada musik underground; sebuah genre musik yang mereka yakini sebagai media eksistensi. Dan di balik dentuman musik keras yang menghentak telinga, ternyata terselip lirik-lirik yang menggugah sisi kemanusiaan tapi tidak semua orang mau memaknainya lebih dari sekedar lirik.

Sebuah Pagelaran Musik amal telah rampung dilaksanakan. Semoga dengan banyaknya kegiatan sosial seperti ini, bukan hanya hiburan semata yang kita dapat. Namun juga fasilitas bagi anak-anak negeri untuk terus berkarya sembari melakoni aktivitas sosial ; membantu mereka yang mengalami kesulitan dalam segi financial untuk bisa terus hidup dan bersekolah.


Jika berbicara masalah sosial, kita berjuang atas nama kemanusiaan, terlepas apa pun aliran musik yang kita usung. Ternyata aku yang penikmat musik jazz ini bisa juga belajar memaknai nilai-nilai positif dari musik underground. Jadi, marilah kita berangkulan. Niscaya, dalam mengamalkan nilai-nilai sosial, tidak akan ada yang mampu berjalan sendiri. Bangsa ini butuh agen-agen sosial lain yang mau menginvestasikan waktu, tenaga dan pikirannya untuk perbaikan taraf kualitas hidup. Setelah ini, siapa lagi yang akan menggelar pagelaran musik amal?.


Cimahi, 24 Mei 2009.

Daisy ’Grenita’ Andriyani




A Little Awareness

Sebagai seorang anak yang menempuh pendidikan di kota lain, berkumpul bersama seluruh anggota keluarga merupakan satu hal yang mewah. Selama ini, aku hanya menyempatkan sekali waktu dalam sebulan untuk mengunjungi kota tempat tinggalku. Seringkali kesempatan itu ku gunakan untuk urusan pekerjaan, bukan untuk berlibur bersama keluarga di rumah. Jatah berlibur di rumah pastinya tidak pernah lama, hanya satu atau dua hari. Jika tidak dihabiskan dengan berenang bersama ade, maka aku akan berada di rumah seharian. Apabila sudah nonton tv sembari merebahkan tubuh di sofa ’butut’, aku akan malas kemana-mana bahkan untuk sekedar mengunjungi tetangga dan teman-teman lama.

Suatu sore di tiga minggu lalu. Setelah selesai ku puaskan tidur di sepanjang siang, kami berkumpul di teras rumah terkecuali papa yang sibuk mengutak-atik mobil di garasi. Aku ditugaskan untuk mencabuti uban mama sementara ade sedang berusaha menyelesaikan kerajinan kruissteek. Tiba-tiba, ade berkata padaku, ”Teh, beliin ade celana ya!. Itung-itung kado ulang taun, kan teteh blom ngasih kado ke ade.” Ia tersenyum lalu melanjutkan membuat kerajinan.

Ada haru yang terbit di dada. Aku hampir tidak pernah absen memberi kado ketika sahabat-sahabatku berulang-tahun tapi aku hampir melupakan sesuatu yang penting; kado untuk ade kecilku. Baru saja ku berencana untuk menghadiahi ii sepasang sepatu meskipun bukan di momen ulang-tahun. Belum lama juga, ku hadiahkan sebuah buku Cinta Bukan Cokelat kepada seorang sahabatku. Ku ingat-ingat lagi kapan terakhir kali aku menghadiahi adikku sebuah kado. Aku tak berhasil mengingatnya; aku lupa.

Di keluargaku memang tidak diajarkan untuk saling memberi kado ketika hari ulang-tahun tiba. Biasanya ketika salah satu anggota keluarga berulang-tahun, kami mensyukurinya dengan makan bersama di Warung Soto langganan kami dan untuk itu, aku pasti menyempatkan hadir tanpa dipaksa. Selanjutnya, kami akan lalui malam pergantian usia tanpa kue tart dan lilin merah tapi dengan doa dan kecup sayang dari anggota keluarga lainnya. Tapi di balik semua itu, ku tahu ade pasti mengharapkan sebuah kado yang bisa ia simpan sebagai penanda hari jadi. Ku lalui hari itu dengan tak habis berpikir; mengapa satu hal penting bisa luput dari ingatanku.

Esoknya, sebuah kejutan menungguku di luar. Hanya beberapa meter setelah melangkahkan kaki dari pintu rumah, ku lihat mama sedang menggendong seorang bayi. Bayi itu menangis hebat dan dan tak kunjung diam walau mama sudah menimangnya. Ku hampiri mama dengan rasa heran yang sungguhan. Aku bertanya, ”Orok saha?.” Mama dengan ringan menjawab, ”Ieu mah orokna Kiki, baru diimunisasi.” Ternyata bayi perempuan itu adalah anak kakak sepupuku yang baru saja diimunisasi DPT. Bayi itu berumur hampir tiga bulan tapi aku baru melihatnya untuk pertama kali. Aku mengingat-ingat kemana saja aku selama tiga bulan ini sampai aku tidak sempat menjenguk anggota keluarga baru dalam keluarga besarku ini.

Ingatanku sampai di sebuah malam saat aku pulang larut setelah bekerja. Ku rasakan lelah dan kantuk mendera tubuh yang basah diguyur hujan. Ketika baru beranjak merebahkan diri di tempat tidur, sebuah pesan ku terima; pemberitahuan bahwa kakak sepupuku telah melahirkan seorang bayi. Karena terlalu lelah, tak ku indahkan pesan itu dan berlalu dalam lelap. Esoknya aku kembali disibukkan dengan padat kegiatan hingga akhirnya terlupa untuk sekedar menyampaikan ucapan selamat hingga hari ini.

Bayi itu begitu cantik dan menatapku tajam. Tiba-tiba aku didaulat untuk menggendongnya. Kurasakan kedua tangan ini begitu kaku ketika bayi itu mulai dipindahkan ke dalam dekapanku. Aku baru menepuk-nepuk pelan tubuhnya ketika tangisannya mulai bertambah keras. Akhirnya ku kembalikan bayi itu ke dalam gendongan mama. Mungkin dia tidak nyaman dalam dekapanku yang kaku. Wajarlah, selama ini aku tidak punya pengalaman bersentuhan dengan bayi.

Kini bayi itu sudah melewati usia tiga bulan dan masih sering diasuh oleh mama. Di rumah, bayi itu sering dijadikan mainan hidup sekaligus objek foto oleh ade, duh.. kurang kerjaan. Ade sendiri baru selesai berkutat dengan soal-soal ujian akhir nasional. Satu bulan lalu, ia mengikuti test masuk Sekolah Bertandar Internasional (SBI) dan hasilnya sangat memuaskan. Clever girl, my sister. Sebagai kompensasi dari kerja kerasnya, aku harus mengirimkan kado tambahan yang ade minta. Tak apalah. Untuk ade, akan ku kuras habis tabunganku bulan lalu.

Selama beberapa minggu ke belakang, setiap kali aku merenungkan semua ini, maka tanganku selalu refleks meraih ponsel. Speed dial no 1: Rumah. Aku tak mau menunggu lagi hanya untuk berucap ’Apa Kabar?’. Sebuah kesadaran kecil menyentuh nuraniku. Selama ini, obsesi pribadi begitu menenggelamkanku dalam padat aktivitas sehingga membuatku jauh dari keluargaku. Ku sadari ada yang lebih penting dari menjadi dewasa dan berpenghasilan sendiri yaitu tetap menjadi bagian dari keluarga; sebuah tempat dimana aku kembali, sebuah alasan eksistensiku hidup di dunia ini.

Di halaman belakang rumah,
03 Mei 2009.

For You These Songs I Sing


Setelah membaca tulisan Saras Dewi tentang playlist di i Pod nya, aku terinspirasi buat tulisan tentang musik favoritku sendiri. Siapa itu Saras Dewi?. Kalau kalian tahu lagu Lembayung Bali, Saras Dewi adalah penyanyi sekaligus penciptanya. Membaca tulisannya tentang filsafat atupun hal santai sepeti musik sungguh merupakan proses pencerahan. Bagi yang ingin mengenalnya lebih jauh. Visit her blog http://sarasdewi.blog.friendster.com/. Her writing is simply adorable.


Playlist apa saja yang ada di ponselku?.


Here’s we go.


Saat ini masih muter lagu Pantaskah nya Marcell. Proses menghayati sakitnya patah hati akan lebih mudah kalau denger lagu ini!. Secara patah hatiku belum pulih seutuhnya. Hiks.. hiks..


Selain itu, ada Anggun di urutan paling atas. She is the gorgeous one. Lagu Still reminds me selalu jadi penawar di saat rindu tak lagi tertahan.


Air Supply, always be my favorite band. ‘All out of love’.


Boyz II Men, I love their voices. ‘A song for mama’ buat aku kangen banget sama mama.


Eddie Vedder. Hard Sun’ selalu jadi lagu andalan saat menyusuti urat gunung. Membuatku serasa jadi Alexander Supertramp.


Joss Stone. Listen to her songs make me can touch her soul. Coba denger lagu ‘Spoiled’!.


Justin Timbaland feat One Republic – Apologize.


KCI feat Jojo. ‘All my life’. … All my life. I pray for someone like you. And I thank God, that I. That I finally found you, baby. All my life I pray for someone like you. And I hope that you feel the same way too. Yes I pray that you do love me too …


Mariah Carey feat Luther V. ‘Endless Love’. … u’re always be my endless love …


Michael Buble. Take me to my lovely ‘Home’.


Paloalto. Kenal seorang teman bernama Iwa buatku nyandu lagu ‘Too many questions’.


Robbie William. ‘She’s the One’. Lagu indah pengantar tidur.


Roxette. What can I say more?. They are wonderful. I love ‘I will stand by you’, ‘Milk and toast and honey’, ‘Spending my time’, and many more.


Sheryl Crows. ‘Sweet Child O’ Mine’.


The Corrs. ‘Long night’ and ‘The hardest day’ are simply powerful lyrics.


Jujur, aku ngga terlalu suka lagu-lagu dari penyanyi atau band Indonesia. Bukan karena ngga suka produksi dalam negeri. Peace!. Tapi yang namanya taste memang selalu penuh subjektivitas. Beberapa lagu Indonesia yang masih ku simpan di playlist tentunya punya makna mendalam yang membuatku ingat sama orang–orang terkasih atau momen istimewa yang pernah terlewati. Ini adalah sebagian di antaranya :


BIP. Liriknya bisa begitu kritis tapi bisa juga begitu manis. Temukan keunikannya di lagu–lagu seperti ’Orang Sepertiku’, ’Skak Mat’ ,’Atas nama Cinta’ dan ’Sampai Nanti’.


Dewi Lestari. Recto Verso. Dengar fiksinya, Baca musiknya. What a wonderful collaboration; arts and music.


Glenn Fredly. Kolaborasinya dengan Tohpati di lagu Jejak Langkah liriknya terekam terus di kepala. ... jejak langkah yang kau tinggal mendewasakan hatiku, jejak langkah yang kau tinggal tak kan pernah hilang selalu, begitulah cintaku ...


Ipang dan Didit. Lagu-lagunya jadi media inspirasi buat menulis.


Letto. Lagu Sandaran hati dan Lubang di hati bikin aku ingat Tuhan.


Maliq and d’essential. So jazzy and groovie. Lagu ’Dia’ dan ’Pilihanku’ bisa buatku ikut-ikutan nyanyi.


Naff. ’Ijinkan’. ... ijinkan aku menjadikanku sinar dalam hatiku karena hangat senyummu selalu menggetarkan jantungku...

Saras Dewi. ’Lembayung Bali’. Kenangan akan seorang Reinara Selina tertinggal di temaramnya ’Lembayung Bali’.


Itu lah Theme Songs of my life. Rangkuman kecil dari ratusan lagu yang ku simpan di playlist. Beberapa lagu yang sanggup membuatku mengambil langkah mundur dan berpikir. Merekam ulang beberapa kejadian yang pernah hadir begitu manis ataupun menggores luka. Setiap orang pasti punya playlist musik favorit. So.. aku tunggu kalian untuk bisa berbagi musik favorit kalian!

11 Sekawan Dalam Petualangan Gila (Part II)

Catatan 07 - 09 Februari 2009

(Lanjutan)

08 Februari 2009
Hujan begitu lebat. Entah berapa gelontor lagi yang akan tiba. Waktu menunujukkan pukul 05.15. Prosesi sunrise akan dimulai beberapa menit lagi. Tapi tampaknya cuaca buruk menghalangi kami untuk melihat sunrise. Mimpi kami tetap menjadi mimpi. No sunset, no sunrise. Kecewa sedikit membelenggu kini.

Cuaca membaik ketika pagi tiba. Kami kembali menyambangi pantai untuk bermain ombak. Air yang surut membuat batuan karang menyembul ke permukaan. Secara hati-hati, kami menjejaki batuan karang itu. Berusaha menemukan sudut-sudut indah untuk berfoto. Entah karena terlalu bersemangat atau memang kurang hati-hati, seorang teman terpeleset di salah satu batu karang. Arrrghhh.. sontak semuanya berteriak dan membantu ia untuk berdiri. Syukurlah ia hanya mengalami lecet pada lengan kirinya. Setelah itu, kami tidak henti menasehatinya untuk lebih berhati-hati. Cukup lama kami bermain ombak di tengah bebatuan karang. Air yang kemudian meninggi memaksa kami kembali ke tepi pantai.

Semuanya seperti terbungkam dalam sketsa; indah untuk dinikmati tapi tak hendak melibatanku serta. Riang yang ada tetap tak mampu meredakan resah ini. Dalam kilatan pesona Laut Jawa, rasa rindu itu menyapaku lagi dan menuangkan kesepian dalam diri. Dia yang berlabuh dalam mimpi selalu menyisakan rindu pada hatiku. Ratusan kilometer ternyata tak mampu membuat spasi. Keceriaan ini terasa menyakitkan karena tak bisa ku bagi bersamanya.

Ingin ku jemput dia saat ini juga untuk berbagi sinar matahari dan ombak yang sama denganku. Mengarungi lautan dengan perahu-perahu cadik. Membuat menara pasir yang menjulang tinggi. Ataupun sekedar menyusuri pantai dalam rekatan jemari. Oh.. God. Rindu ini mulai menggila.

Hari sudah semakin tinggi, kami tak boleh terlena disini. Setelah menghabiskan menu makan siang; cumi dan ikan bakar, kami selesaikan administrasi penginapan dan melanjutkan berkendara. Ada keindahan yang ku rasakan ketika hendak berbalik pergi dan meninggalkan Pantai Santolo. Ku biarkan semua kesan tertinggal, larut bersama ombak di tepi samudera untuk seterusnya ku rekam erat dalam benak. Lazuardi begitu indah dan laut tetap menyisakan banyak misteri.

Tujuan berikutnya adalah tempat pemandian air panas di jantung Kota Garut. Mungkin karena daerah wisata ini menyediakan fasilitas air panas alami sehingga dinamakan Cipanas yang berarti air yang panas. Perjalanan yang kami tempuh untuk sampai disana tergolong mudah dan sama sekali tanpa hambatan. Jauh berbeda dengan perjalanan kami menuju Pantai Santolo kemarin. Kali ini, seakan alam memberikan restu. Gunung Gelap yang sukar ditempuh pun mendadak jadi mudah kami lalui.

Cuaca begitu sempurna. Panas yang tak begitu terik dan tak menyisakan awan mendung. Hanya tak ku nikmati berkendara serupa ini. Macet, kendaraan parkir seenaknya di bahu jalan, tata kota yang sembrawut. Hah.. pemandangan yang terlalu biasa ku jumpai. Akhirnya kami sampai di penginapan yang dituju. Hotel bintang dua yang sebenarnya tidak terlalu pas dengan harapan kami. Setelah melalui perdebatan yang cukup alot mengenai harga, kami jadi menyewa satu cottage di bagian paling atas kawasan hotel tersebut.

Jujur lebih ku nikmati jam-jam yang kami habiskan di Pantai Santolo daripada disini. Nuansa perkotaan kental menyelimuti penginapan. Penjaja nasi goreng dan mie instant bertebaran di sana-sini. Ketenanganku seringkali terusik oleh banyaknya orang yang berlalu-lalang di area penginapan. Sebagian teman berusaha mengurangi rasa suntuk dengan berjalan-jalan sementara aku dan beberapa teman yang tersisa disini menghabiskan menit demi menitnya di depan televisi.

Hari menjelang malam, sebagian teman belum jua kembali ke penginapan. Dingin mulai merasuk dan secara kebetulan, kolam pemandian sudah terisi penuh air panas. Tanpa pikir panjang, dua orang temanku menceburkan diri ke dalam kolam. Belum juga seluruh tubuh terbenam ke dalam air, mereka sudah berteriak dan buru-buru keluar menjauh dari kolam. Ternyata air di kolam itu bukan hanya panas secara kiasan tapi memang benar-benar panas. Air itu memang sengaja dibiarkan alami mengalir ke dalam kolam tanpa mengalami proses pendinginan terlebih dahulu. Aku yang semula terperanjat mendengar teriakan kedua temanku menjadi tertawa terpingkal-pingkal melihat ekspresi muka mereka.

Tiba giliranku mencoba berendam di kolam itu. Satu per satu ku ceburkan bagian tubuh. Panas yang kemudian berubah hangat melapisi tiap inchi kulit. Begitu nyaman rasanya. Ingin ku berlama-lama berendam tapi beberapa kotak martabak hangat yang disajikan oleh teman-teman membuatku merasa lapar dan akhirnya keluar dari kolam. Teman-temanku memutuskan untuk berenang di kolam yang lebih besar. Awalnya ingin juga ku ikut berenang bersama tapi lelah lebih kuat mendera tubuh. Aku lagi-lagi memutuskan untuk tak ikut serta. Tempat tidur yang empuk menjadi puncak petualanganku hari ini


09 Februari 2009
Jam menunjukkan pukul enam. Suara alarm ponsel berbunyi bergantian, menyemarakkan pagi itu. Masih terlalu dini untuk bangun. Setelah lebih rapat ku selimuti tubuh, tiba-tiba teman-temanku menyingkap gorden dan menarik selimut dari tubuhku, memaksaku bangun. Dengan segera aku bangun sebelum teman-teman memeragakan gaya Smack Down ke tubuhku.

Ritual minum kopi dan rokok pagi sedang kami lakoni, tanpa mandi tapi sudah cuci muka dan gosok gigi tentunya. Tapi hari minggu pagi tak lengkap rasanya apabila dilalui tanpa olah-raga. Jadi meskipun beberapa temanku memutuskan untuk tidur lagi, aku memilih untuk berenang. Tenaga yang sudah pulih dan terkumpul penuh serasa pas untuk mengasah otot-otot yang kaku setelah lama berkendara. Tak kurang dari satu jam ku tempuh lintasan renang itu. Seandainya kolam renang itu tak dipenuhi padat pengunjung, mungkin ku masih betah berenang sampai beberapa jam ke depan.

Waktu bergulir tanpa terasa. Tepat pukul 10.30, kami tinggalkan penginapan itu dan bersiap-siap pulang menuju Bandung. Sebelum keluar dari Kota Garut, kami sempatkan mengisi perut kami yang mulai keroncongan. Tumbuh di Kota Kuliner membuat standar cita rasa kami akan makanan begitu tinggi. Meskipun sepanjang perjalanan terhampar banyak Rumah Makan tapi kami tetap kekeuh ingin makan di Rumah Makan Ampera. Sekarang tinggal aku yang kerepotan mencari alamat Rumah Makan itu. Setelah hampir setengah jam berkeliling, hasrat makan di Rumah Makan Ampera akhirnya terpenuhi.

Selanjutnya, kembali kami harus menyusuri padat jalanan kota. Menempuh puluhan kilometer berkendara. Sesekali, kegilaan masih dilakukan, seperti menyalip iring-iringan truk besar ataupun menggoda para pejalan kaki. Kurang kerjaan memang. Cuaca begitu bersahabat menaungi kami sampai tiba di Bandung. Segelas Es Kelapa Muda menyambut kepulangan kami di Kota Tercinta ini. Segarnya terasa hingga berjam-jam kemudian.

Kami menempuh lebih dari 300 kilometer perjalanan, melalui 55 jam bersama. Tidak ada oleh-oleh yang kami bawa selain rasa lega dan kepuasan yang luar biasa. Sebelum padat aktivitas mengharuskan kami menempuh jalan berbeda. Sebelum waktu membawai kami menorehkan masing-masing karya. Maka kami akan sanggup bercerita tentang pengalaman luar biasa yang tak mungkin terganti. Sebuah petualangan gila yang mengharuskan sebuah persahabatan diuji dan kemurnian cinta digali.

Daisy Grenita.
TAMAT

Rata Penuh
Pesan ini akhirnya tiba. Saat pasir tempatmu berpijak pergi ditelan ombak, akulah lautan yang memeluk pantaimu erat. Akulah langit beragam warna yang mengasihimu lewat beragam cara. Engkau hanya perlu merasa dan biarkan alam berbicara.
(Dee - Aku Ada / Recto Verso hal. 36)

11 Sekawan Dalam Petualangan Gila (Part I)

Catatan 07 - 09 Februari 2009


07 Februari 2009
Gerimis semakin membesar seiring bertambah ting
ginya mentari. Anggota tim belum berkumpul seluruhnya, terkesan masih terlalu pagi namun sudah terlambat beberapa menit dari jadwal yang disepakati. Tak apalah, mungkin mereka terjebak macet yang disebabkan oleh hujan. Ku periksa semua perlengkapan sekali lagi. Tidak satu pun terlewatkan; helmet, kaca-mata, jaket, jas hujan, sepatu dan ransel. Liburanku kali ini pasti akan terasa berbeda.

Tepat pukul sembilan pagi, awak tim terakhir tiba di lokasi keberangkatan.
Pendataan dimulai. Enam buah sepeda motor, 11 petualang. Semuanya melebur dalam antusiasme yang luar biasa. Siap menjelajah medan. Semua perlengkapan dipasangkan pada tubuh. Di garis start, ritual berdo’a tidak lupa dilaksanakan.


Kegilaan sudah mulai terasa dikala kami berkendara di dal
am hujan yang sesekali dihantui petir. Mengarungi terjal jalanan dengan kendaraan yang memang tidak diperuntukkan untuk itu. Belum genap satu jam pertama berkendara, salah satu sepeda motor mengalami pecah ban. Untuk 20 menit, perjalanan kami terhambat. Sementara itu, hujan semakin deras mendera. Maka diberlakukan sesi mengganti sepatu dengan sandal guna menjaga sepatu kami tetap kering.

Sebagai anak-anak yang tumbuh besar di himpitan gedung-gedung tinggi kota besar, melihat pantai dan laut secara langsung layaknya mimpi. Sebuah harapan dan pencapaian. Hal itu juga yang menjadi alasan kami rela menempuh jarak kurang lebih 155 kilometer menuju pantai indah di selatan Garut. Sebuah pantai bernama Santolo.

Menjelang waktu shalat Jum’at, sepeda motor lainn
ya mengalami pecah ban. Seorang awak berkelakar bahwa inilah waktu yang pas untuk pecah ban. Mungkin memang ada benarnya karena dengan begitu kami bisa sejenak menghempaskan lelah sembari menikmati makan siang. Sementara sebagian awak yang lain melaksanakan shalat jum’at dan mengganti ban sepeda motor. Istirahat siang itu terhitung terlalu lama bagi tim yang sedang berkendara. Dengan maksud memburu waktu, lekas kami melanjutkan perjalanan meski hujan belum reda sepenuhnya.

Cuaca akhirnya mulai bisa bersahabat.
Mentari terlihat menyembulkan diri meski sesekali tertutup awan. Lengang jalanan dan indahnya cuaca membuat kami lup
a akan jalanan yang masih basah dan memacu kendaran lebih cepat. Semuanya tampak berjalan sesuai rencana. Kami berkendara dalam komposisi terbaik. Merambati tiap jengkal jalanan dengan kecepatan tinggi yang konstan. Mendahului satu persatu kendaraan dengan mulus. Hingga di sebuah jalan lurus yang panjang, perjalanan ini menorehkan mimpi buruk. Hanya beberapa belas meter setelah melewati tikungan yang cukup tajam. Tepat di depanku, terlihat seorang awak tim terpelanting dari sepeda motornya setelah sebelumnya membunyikan klakson panjang. Spontan ku melambatkan kecepatan hingga akhirnya berhenti. Jantungku berdegup sangat cepat setelah melihat semuanya dari dekat. Oh.. God. Bukan hanya seorang awak yang terpelanting namun juga ada seorang anak kecil yang hampir tertindih oleh motor yang terbalik.

Massa mulai mengerubungi TKP. Suara rintihan anak kecil yang meraung-raung membuat kami semakin kalut dan gemetar. Hampir tidak ada diskusi. Massa memaksa pihak kami bertanggungjawab. Awalnya kami berkeberatan karena kecelakaan ini bukan sepenuhnya kesalahan teman kami yang mengendarai sepeda motor tapi kami takut kasus ini dibawa ke pihak berwenang. Maka tanpa banyak basa-basi, kami mendampingi korban untuk diperiksa ke puskesmas terdekat. Syukurlah, t
idak ada luka dalam yang berarti. Hanya memar dan syok yang mendera anak kecil itu. Setelah menyelesaikan administrasi pengobatan, kami langsung melanjutkan perjalanan.

Setelah itu, kami masing-masing berkendara dalam diam. Syok rupanya juga mendera kami tapi tidak untuk waktu yang lama. Senyum sudah mulai bisa mengembang
lagi ketika kami memasuki Gunung Gelap. Terjal jalanan berbatu membuat kami harus saling mendukung satu sama lain. Angin yang kencang berhembus beberapa kali merusak kestabilan sepeda motor. Kecepatan sudah jauh melambat. Tinggal ketangkasan mengendarai sepeda motor yang bisa diandalkan.

Belum usai perjalanan menempuh Gunung Gelap yang penuh ranjau lubang, giliran ban sepeda motorku pecah. Anjir. Hari mulai menjelang sore dan di tengah hutan pula. Beruntungnya signal ponsel belum benar-benar hilang hingga aku yang memang terting
gal di belakang bisa menelpon temanku agar kembali dan membantu memperbaiki sepeda motorku. Setengah jam yang berharga terbuang untuk mengganti ban sepeda motor. Tak habis ku rutuk kecerobohanku yang terlalu memaksakan sepeda motor.

Setelah itu, kami lanjutkan berkendara diiringi gerimis yang mulai datang lagi. Saat itu, entah mengapa bisa ku rasakan segalanya melebur harmonis. Seperti tembang ritmik yang terjalin apik di udara. Dengung halus suara Thunder. Kaos kaki basah. Punggung yang sudah kapalan. Iring-iringan indah motor yang menyusuri urat gunung. Senyum yang sesekali dibarengi tawa. Bun
yi klakson yang bersahut-sahutan. Semuanya amat istimewa. Ku syukuri nikmat merasakan kedamaian serupa ini.

Masih tersisa 35 kilometer lagi sebelum tiba di pantai. Semangat kami sudah menggebu-gebu. Lupa akan dinginnya cuaca. Berharap untuk secepatnya tiba dan menikmati sunset dari tepi pantai. Medan Gunung Gelap sudah bisa dilalui. Gerimis yang tadi menghantui seakan tidak jadi menjelma hujan dan berganti menjadi terik mentari. Kami mulai menyusuri perkampungan padat penduduk. Hutan belantara berganti menjadi alam pedesaan yang mulai bernuansa kota. Mini market berjejer rapi di kiri dan kanan jalan. Panorama menjadi tidak asyik lagi.

Terik mentari membuat sore itu menjadi terang tanpa sisa hujan. Pandangan aneh para pejalan kaki tertuju pada kami yang masih mengenakan jas hujan lengkap two pieces. Akhirnya kami sempatkan melepas jas hujan sebelum terlalu menjadi ’Alien masuk kota’.

Menit demi menit berlalu, hingga kemudian roda-roda sepeda motor berpijak pada tanah berpasir menandai tujuan kami sudah dekat. Tak lama, pemandangan indah itu terhampar di pelupuk mata.
Di balik tetumbuhan mangrove yang menjulang, ombak saling bertautan di pantai dengan indahnya. Hari sudah menjelang senja. Prosesi sunset akan dimulai sebentar lagi. Cepat-cepat kami m
emesan kamar di penginapan terdekat. Semua sepeda motor sudah terparkir apik dan ransel sudah tidak melekat di punggung lagi. Dengan setengah berlari, kami memburu sunset. Menapaki tiap inchi batu karang. Melebur dan membasahi tubuh dalam ombak. Mengabadikan setiap momen terbaik dalam jepretan foto atau selembar video. Arakan awan hitam menggelayut hingga sunset berlalu tanpa kami sadari. Biarlah, hal itu tak sedikit pun mengurangi kegembiraan ini. Jemu dan lelah seperti seluruhnya terbasuh disini ; dalam suatu temaram senja di Pantai Santolo.

Daisy Grenita


(to be continued)


Santolo Beach, West Java, Indonesia


The sea’s only gift are harsh blows and, occasionally, the chance to feel strong. Now, I don’t know much about the sea but I do know that, that’s the way it is here. And I also know how important it is in life, not necessarily to be strong but to feel strong, to measure yourself at least once, to find yourself at least once in the most ancient of human condition. Facing the blind, deaf stone alone with nothing to help you but your hands and your own head.

(Alexander Supertramp)

Sebuah Cerita Berjudul Reinara Selina

Pagi yang biasa. Duduk di depan komputer. Tanpa mandi. Tanpa sarapan. Tanpa seorang teman pun. Hanya alunan lagu Take A Bow dari Rihanna yang memenuhi gendang telinga. Segalanya bergulir seperti biasa.

Setelah hampir dua jam mencoba menyelesaikan tugas kuliah, kejenuhan menyergap. Iseng-iseng, ku buka beberapa folder yang berisi tulisan – tulisanku terdahulu. Tiba – tiba mataku tertumpu pada satu file yang bernama Reinara Selina. Ingatanku terpaut pada satu hari di enam bulan lalu. Dikala tanpa aba – aba, ia menghampiriku. Sebuah inspirasi yang tak pernah ku tahu bagaimana bisa sampai ke benakku. Sebuah nama yang membanjiri imaji tanpa pernah ku kenal sebelumnya.

Reinara Selina. Nama itu terus terekam di pikiranku sampai berhari – hari berikutnya. Membuatku merasa gundah karena tidak pernah berusaha mengindahkannya. Sampai di suatu malam, emosi dari inspirasi itu datang lagi. Memaksaku meniadakan jam tidur untuk duduk di depan komputer dan menulis. Setelah melewati beberapa malam panjang yang menguras energi, inspirasi itu merasakan sensasi hidup. Tertuang dalam sebuah cerita pendek yang ku beri judul Reinara Selina ; sebuah nama yang bagiku adalah ruh dari inspirasi itu.

Kini, perlahan – lahan ku baca lagi beberapa bait pertama dari cerita pendek itu.

”Adakah harimu indah?. Tenggelam dalam padat dan bising yang khas aroma kota. Mungkin telah habis dunia kita yang penuh canda. Saat dimana aku dan engkau pernah bahagia. Masihkah kau ingat tentang kita yang terbakar mentari Kuta dan dibungkus hasrat yang menyala – nyala?. Kita berlarian mengejar arakan awan di pantai berbalut hangat lembayung Bali. Terbaring di pasir senja. Angin laut dan ombak pasang terasa begitu ramah menyapa. Kau tertawa, aku pun tertawa. Kita muda dan bahagia. Saat itu ku temukan riang di wajahmu yang bersisian indah dengan mentari di penghabisan siang.

Hingga badai porak – porandakan sisa hari. Hujan menghitamkan malam. Temaramnya wangi bunga dan pepohonan tak lagi bisa kita rasakan. Dingin merasuk di tubuhmu yang diapit dua belah tangan. Perapian mati. Kita berbagi cahaya redup dari sebuah lilin putih. Bersama memunguti jejak malam ditemani suara Burung Hantu dan belasan batang rokok yang tak lama berubah jadi abu. Hangat nafasmu terasa dan diammu tak henti berkata, berceloteh. Kita kenang manis keberhasilan dan kegagalan hidup untuk nanti disimpan lebih erat dalam benak. Sampai di penghabisan gelap, ku lihat air menguap dari jelaga matamu. Keadaan memaksa raga kita untuk saling menjauh. Tangismu hadir diiringi gerimis yang jatuh. Adakah kau lihat jua tangis di mataku?. Embun menghiasi dinding fajar. Pagi merenggutmu dariku.

Baru sekarang ku tahu, rindu bisa begitu membuat helaan nafas terasa sakit. Rindu akan perasaan lembut yang menggerayangi teras hati. Kehadirannya memaknai riang dan luka yang terjalani. Tetap ku rangkum harummu bersama pijar yang tak kunjung lekang. Menantimu berdamai dengan ego. Tapi kini hadirmu seakan sirna bagai petir yang mati di terik mentari Bulan Juli.

Aku mengenangmu dalam buih di air dan tapak kaki yang kita jejakkan di Pantai Kuta. Akan selalu ku ingat wangi rambutmu yang basah, ombak yang terhempas di tepian, rakit yang melaju, kaki kita yang terbenam di pasir dan suatu tempat di Denpasar dimana kita tak sengaja bertemu.”

***


Melalui cerita ini, ku rasakan sensasi mengenal seorang Reinara Selina. Sosok yang datang melalui pertemuan aneh yang masih menyisakan tanda tanya di hati. Seseorang yang hadir beserta keindahan alam Bali ; kota seribu candi yang bahkan tak pernah ku sambangi. Ajaibnya, dalam proses menulis cerita ini bisa dengan utuh ku rasakan hangat mentari Kuta atau indahnya rembulan di langit Denpasar.

Reinara Selina. Ia akan selalu ada menyesaki udara yang ku hirup. Hadir ditemani sejurus kenangan indah yang tertinggal. Tanpa perlu ku melihat, ia menari bersama ombak di pelupuk mataku. Tanpa perlu ku mendengar, ia bicara dalam kelembutan bahasa yang dimengerti hati. Mungkin tak kan pernah ku lihat ia dalam pesona ragawi tapi berkenalan serta berbagi pengalaman dengannya adalah kesempatan megah yang membuatku merasa cukup.

Daisy

Kamis Yang Tak Biasa

Ketika yang tertinggal hanya senyap, ku melayang hilang, melebur dalam panas mentari hasrat dan dingin udara. Dunia yang biasa dihinggapi kakunya rias teori dan pena seakan tertinggal jauh di belakang. Dalam diam ku berucap ; Inikah passion yang dapat mengisi kekosongan hati?. Inikah rumah yang ku cari?.

Di satu titik ketinggian, ku sadari kemahaan-Nya.
Ciwidey, 29 Januari 2009.